Reporting
Kisah Anak Ahmadiyah di Pengungsian
Anak-anak Ahmadiyah menderita akibat persekusi, tapi tak dendam. Bercita-cita menjadi dokter dan pilot.
Anak-anak pengungsi Ahmadiyah tengah bermain di Asrama Transito di Majeluk, Kota Mataram, 27 November 2022. TEMPO/Purwani Diyah Prabandari. tempo : 168236424737_9874999
Masih kuat melekat di ingatan Idayatun Rasna, 30 tahun, insiden berdarah di Sambik Elen, Bayan, Lombok Barat, pada 2002. Saat itu, ia masih kelas IV sekolah dasar. Anak sulung Syahidin-Senah ini tengah bermain dengan teman-temannya saat serangan terhadap kelompok Ahmadiyah terjadi.
“Kami lari ke kebun, bersembunyi, takut,” kata Idayatun saat ditemui di Asrama Transito, Majeluk, Kota Mataram, akhir November lalu. “Kami menyaksikan rumah-rumah dihancurkan.”
Sampai akhirnya mereka dijemput aparat keamanan untuk dibawa ke pengungsian sementara di kantor Camat Bayan. Setelah itu mereka ke Kota Mataram, menumpang di tempat anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), M. Sobri.
Masalah tak berhenti di situ. Ketika Syahidin dan keluarga lainnya pindah ke Sumbawa, perempuan yang kini bekerja sebagai pekerja rumah tangga itu mesti berpisah dengan bapak-ibunya dan tetap tinggal dengan Sobri. Barulah saat Syahidin kembali, karena terusir dari Sumbawa, Idayatun berkumpul lagi bersama keluarga di Lombok Tengah. Tapi itu juga tak lama.
Karena kondisi yang tak aman, ia kembali dititipkan ke mubalig Ahmadiyah di Manislor, Kuningan, Jawa Barat. Di sana ia meneruskan pendidikan sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah kejuruan. “Awalnya sedih, berpisah dengan orang tua. Tapi kemudian terbiasa,” kata Idayatun.
Perisakan yang ia alami saat kecil juga sudah ia anggap biasa. “Kamu anak Ahmadiyah, ya,” ia ingat ujaran kepadanya. Tapi ia tak mendendam.
Idayatun Rasna (tengah) di antara orang tuanya, Syahidin dan Senah, di Asrama Transito di Mataram, 25 November 2022. TEMPO/Purwani Diyah Prabandari
Setelah lulus SMK, Idayatun berkumpul kembali bersama keluarga di Asrama Transito di Kota Mataram, sampai kemudian mesti menjauh lagi karena ia bekerja sebagai pekerja migran di Brunei Darussalam. Pulang dari Brunei, ia menjadi pekerja rumah tangga di Mataram.
“Memang sedih kalau ingat kejadian di Sambik Elen. Saya tidak ingin adik-adik mengalaminya,” kata sulung dari empat bersaudara ini.
Dua adik terakhirnya memang tak mengalami persekusi dan perisakan serius seperti dirinya, adik nomor dua, dan teman-teman mereka. Maryam Nur Siddiqah dan Muhammad Khataman Nabiyyin, yang duduk di kelas IX dan VII SMP Negeri 16 Mataram, lahir setelah Syahidin-Senah tinggal di Asrama Transito.
Mereka tak mengalami perlakuan buruk ataupun diskriminasi, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Bahkan, tahun lalu, Maryam terpilih menjadi Duta Anak Nusa Tenggara Barat. “Saya ingin menjadi dokter,” katanya. Sementara itu, Khatam, yang menyukai ilmu sosial, ingin mengikuti jejak kakak nomor dua. “Mau menjadi mubalig.”
Muhammad Khataman Nabiyyin berpamitan kepada ayahnya, Syahidin, di teras tempat tinggal mereka di Asrama Transito di Mataram, 26 November 2022. Khatam siap berangkat sekolah di SMP Negeri 16 Mataram. TEMPO/Purwani Diyah Prabandari
Anak-anak lain di Transito mengungkapkan hal yang sama: ingin berpendidikan tinggi dan punya pekerjaan yang baik kelak. Sembari ramai-ramai bermain kartu di teras rumah Syahidin, Alsa Nabila Kanwari, siswa kelas V SD, menyatakan ingin menjadi pramugari.
Adapun Mirza Abdul Gani, siswa kelas II SD, dengan lantang menyatakan ingin menjadi pilot. Sedangkan Zaskia Melsa, siswa kelas IV SD yang berusia 9 tahun, ingin menjadi polisi. “Biar bisa membantu orang tua,” katanya.
Ketika Tempo memberikan dua novel inspiratif, mereka berebutan melihatnya. Kemudian dua bocah memisah, membaca.
Meski demikian, kekhawatiran masih membayangi. “Takutnya orang-orang masih berpikir bahwa orang Ahmadiyah sesat,” kata Maryam. Ia berharap masyarakat memperlakukan mereka sama seperti yang lainnya.