Reporting
Kisah Para Difabel Membangun Karier
Difabel Tuli yang bekerja sebagai Event Manager Inklusiv Warung, Christophorus Budidharma, berpose di Inklusiv Warung, Canggu, Bali, 8 November 2022. TEMPO/Nita Dian. tempo : 168139889759_9874999
Bekerja setelah lulus kuliah merupakan tujuan kebanyakan mahasiswa, termasuk Cristophorus Budidharma yang menyandang gelar sarjana pada 2019 dari Rochester Institute of Technology, New York, Amerika Serikat. Lulusan ilmu biomedis itu telah melamar pekerjaan ke lebih dari 300 perusahaan di Amerika ataupun di Indonesia untuk berbagai posisi. Dari manajer HRD, spesialis media sosial, manajer acara, edukator, fasilitator, trainer, hingga culture manager. “Sayangnya, saya tidak mendapat kabar baik dari mereka,” kata pria Tuli ini kepada Tempo, Rabu, 9 November lalu.
Meski yakin telah memenuhi syarat dan percaya diri akan kemampuannya, Cristo merasakan kesulitan mencari pekerjaan di luar negeri karena statusnya sebagai siswa internasional. Padahal pria berusia 29 tahun tersebut sudah mengantongi OPT-Visa, program yang sementara memungkinkan siswa internasional dengan visa F-1 di Amerika untuk bekerja hingga 12 bulan sesuai dengan jurusan studi mereka. Bahkan, setiap melamar pekerjaan, Cristo tidak pernah mengungkapkan kondisinya yang tuli untuk menghindari eliminasi pada tahap awal.
Cristo sebetulnya juga ingin seperti teman-teman kuliahnya, yang setelah lulus melanjutkan studi S-2. Namun, karena kendala biaya, ia menunda mimpinya menjadi dosen dan mencari pekerjaan sembari menabung. Lamaran kerja yang tak kunjung dibalas membuat Cristo frustrasi dan kecewa.
Pria kelahiran Jakarta ini sempat menjadi relawan selama tiga bulan sebagai asisten profesor anatomi. Selanjutnya, ia kembali ke Tanah Air dan mendapat pekerjaan sebagai manajer vila di Gili Air, Lombok. Bosnya merupakan juru bahasa isyarat Amerika. Beberapa bulan kemudian, Cristo direkrut untuk bekerja di Silang.id, startup berbasis teknologi edukasi, sebagai kepala divisi pendidikan. “Silang.id adalah startup pertama yang mempekerjakan saya,” kata Cristo. Ia bekerja selama lebih dari dua tahun di sana.
Difabel Tuli yang bekerja sebagai Event Manager Inklusiv Warung, Cristophorus Budidharma, membuka pertunjukan musik dan karaoke, di Inklusiv Warung, Canggu, Bali, 8 November 2022. TEMPO/Nita Dian
Selanjutnya, Cristo kembali melamar pekerjaan di restoran bernama Inklusiv Warung yang berlokasi di Bali sebagai event manager. Seperti lamaran sebelumnya, ia tak mencantumkan keterangan tentang kondisinya dalam resume. “Karena itu, saya tidak pernah ditolak setelah wawancara dengan dua perusahaan, Silang.id dan Inklusiv Warung,” ujarnya. Kini, Cristo menjabat event manager di kafe tersebut.
Setelah bekerja pun, Cristo menghadapi tantangan berikutnya, yakni komunikasi. Cara ia berbaur dengan pegawai di tempat kerjanya bisa dibilang unik dan tidak biasa. Cristo sebetulnya lebih nyaman apabila lawan bicaranya fasih berbahasa isyarat. Namun, karena tidak semuanya menguasai bahasa isyarat, ia lebih sering membaca gerakan bibir. Itu pun tergantung orangnya, seperti bentuk mulut, letak gigi, dan ukuran mulutnya. Ada masa ketika Cristo sulit membaca gerakan bibir karena kelelahan. Biasanya ia akan meminta lawan bicaranya untuk menulis atau mengetik di ponsel.
Baik Silang.id maupun Inklusiv Warung, kata Cristo, memiliki kebijakan yang tidak menoleransi segala bentuk diskriminasi, termasuk dari gender, usia, dan kaum difabel. Kedua tempatnya bekerja juga memberikan aksesibilitas, seperti memastikan semua anggota staf dapat menggunakan bahasa isyarat. Selain itu, mereka memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang mewajibkan perusahaan swasta mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah total pegawainya.
Difabel fisik yang juga juru bicara Persatuan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI), Vicente Mariano, di kantor Sekretariat PSAI, Jakarta, 28 November 2022. TEMPO/Nita Dian
Kesulitan mendapat pekerjaan juga dirasakan Vicente Mariano. Tak kunjung mendapat panggilan kerja di sektor formal, pria asal Yogyakarta ini nyemplung menjadi atlet. Vicente terlahir sebagai difabel fisik, dengan hanya memiliki satu tangan. Perisakan hingga diskriminasi menjadi makanan sehari-hari yang dialaminya sejak kecil. Walau begitu, ia tak berkecil hati.
Vicente kini membangun karier sebagai atlet catur serta memimpin sebuah organisasi sepak bola. Ia menjabat juru bicara Persatuan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI) sekaligus Ketua Persatuan Sepak Bola Amputasi Jakarta (Persaj). Bahkan pria berusia 39 tahun ini pernah menjabat asisten manajer di yayasan asal Inggris, yang bergerak di bidang pelatihan difabel fisik.
Pada 2015, Vicente memutuskan beradu nasib ke Jakarta untuk mencari tantangan baru. Ia nekat walau ditentang orang tuanya. “Saya merasa bahwa tetap di daerah itu enggak akan pernah maju-maju,” tuturnya.
Sesampainya di Ibu Kota, Vicente diajak sang paman bergabung ke sebuah komunitas difabel yang mayoritas beranggotakan tunanetra. Lantas pendamping Vicente menyarankan dirinya bergabung dengan komunitas difabel fisik. Di sinilah awal perkenalan Vicente dengan Yayasan Cheshire Indonesia. Di sana, ia mendapat pelatihan untuk mengembangkan potensi. “Banyak binaan dari yayasan ini yang sukses. Setelah keluar dari yayasan, sudah menjadi disabilitas mandiri.”
Setelah sebulan mengikuti training, Vicente direkrut menjadi asisten manajer di yayasan asal Inggris itu. Sebab, ia memiliki pengalaman di bidang organisasi nondifabel. Misalnya, pernah menjadi wakil ketua karang taruna tingkat RT, Ketua Orang Muda Katolik, hingga pemimpin organisasi politik. Sebagai asisten manajer, Vicente diminta membenahi administrasi dan mengadvokasi pemerintah tentang difabel.
Difabel fisik yang bekerja sebagai Ketua Persatuan Sepak Bola Amputasi Jakarta (Persaj), Vicente Mariano, di kantor Sekretariat Persatuan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI), Jakarta, 28 November 2022. TEMPO/Nita Dian
Ia lalu didapuk menjadi ketua salah satu program, yaitu Young Voices Indonesia, yang beranggotakan komunitas anak muda difabel dengan beragam disabilitas. Anak kedua dari empat bersaudara ini bekerja di Yayasan Cheshire selama tujuh tahun. Baru tahun ini ia memutuskan keluar karena ingin berfokus mengembangkan PSAI dan Persaj.
Vicente juga pernah merasakan kesulitan mencari pekerjaan. Sejumlah surat lamarannya tak ditanggapi. Beberapa kali ia urung melamar sebuah pekerjaan lantaran terganjal syarat, seperti akademis dan usia. Belum lagi jika ada syarat harus sehat jasmani dan rohani. “Rohani oke, tapi jasmaninya ini. Celakanya di situ,” kata dia.
Karena hanya lulusan SMA, Vicente akhirnya berhenti mencoba melamar kerja di perusahaan. Ia menjadi atlet catur karena berangkat dari hobi. Vicente kemudian bergabung dengan National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) pada 2016 dan menjadi atlet catur yang mewakili Depok. Ia pernah mengikuti kejuaraan Pekan Paralympic Daerah (Peparda).
Dalam organisasi itu, Vicente dipercaya duduk di divisi prestasi. Tugasnya menyeleksi dan memaksimalkan potensi atlet. Setahun berorganisasi, Vicente diangkat menjadi Sekretaris Umum NPCI Kota Depok. Di tengah perjalanan, ia berkenalan dengan Yudi Yahya, tokoh muda amputasi yang menyukai sepak bola. Yudi mengajak Vicente mendirikan PSAI—sebelumnya bernama Garuda Indonesia Amputee Football (INAF).
PSAI, kata Vicente, memberikan ruang dan tempat bagi para atlet difabel yang salah satu kaki atau tangannya tidak lengkap untuk mewarnai dunia sepak bola nasional. Prestasinya pun tak kalah hebat dengan organisasi olahraga lainnya. Oktober lalu, timnas sepak bola amputasi Indonesia mengikuti pertandingan Piala Dunia Amputasi 2022 di Turki.
Sebagian besar pemain dalam timnas merupakan anggota Persaj, klub sepak bola amputasi Jakarta yang dipimpin Vicente. Bahkan, salah satu pemain Persaj, yakni Aditya, merupakan kapten timnas. Baru-baru ini, klub Persaj juga menjuarai Piala Menpora dan beberapa pemainnya diganjar prestasi sebagai top scorer, best player, dan kiper terbaik.
Tak berhenti di situ, Vicente tengah berjuang agar kompetisi sepak bola amputasi di Indonesia makin banyak. “Di tahun depan, mudah-mudahan yang disetujui sama pemerintah provinsi adalah Piala Gubernur,” ucapnya.
Difabel netra yang berprofesi sebagai wartawan Tempo, Cheta Nilawaty, beraktivitas di kantor redaksi Tempo, Palmerah Barat, Jakarta, 30 November 2022. TEMPO/Nita Dian
Kisah Cheta Nilawaty lain lagi. Wartawan Tempo ini baru menjadi difabel netra sejak 2016. Meski tak lagi bisa melihat, Cheta masih aktif menjalani profesi tersebut dan kini sambil mengenyam pendidikan master di Australia. Ia bercerita awal mula mengalami penurunan daya penglihatan karena terdiagnosis ablasi retina yang disebabkan oleh retinopati diabetik. Retina mata Cheta terlepas akibat diabetes yang dideritanya.
Ia telah menjalani operasi sebanyak delapan kali. Alih-alih sembuh, kondisi mata perempuan berusia 40 tahun itu makin parah sampai akhirnya tidak bisa melihat total pada Desember 2016. Cheta merasa seakan-akan dunia telah runtuh saat itu. “Jantung rasanya berhenti. Semua kayak bakalan mati, sudah lebih baik mati saja. Bawaannya dulu gitu, putus asa,” ujar Cheta.
Pada Agustus 2016 atau ketika kondisi penglihatannya masih low vision, Cheta pernah berpikir akan diberhentikan dari pekerjaannya. Namun sebaliknya, rekan-rekannya justru mengenalkan ia dengan Yayasan Mitra Netra di kawasan Lebak Bulus, Jakarta. Di tempat itulah Cheta menemukan harapan dirinya tetap bisa bekerja sebagai jurnalis.
Di lembaga rehabilitasi bagi tunanetra itu, perempuan kelahiran 1982 tersebut belajar beradaptasi menggunakan tongkat, aplikasi, dan perangkat yang mendukung kegiatan difabel netra, seperti komputer bicara. Jadi, setelah mengalami buta total, ia tetap bisa kembali bekerja. Walau sempat mengalami jatuh-bangun, keberadaan sang ibu menjadi motivasi terbesar Cheta untuk bertahan. Pasalnya, sebagai anak tunggal yang tak memiliki ayah, ia menjadi tulang punggung bagi keluarga.
Difabel netra yang berprofesi sebagai wartawan Tempo, Cheta Nilawaty, beraktivitas di kantor redaksi Tempo, Palmerah Barat, Jakarta, 30 November 2022. TEMPO/Nita Dian
Sebagai jurnalis, ada kalanya Cheta harus meliput di lapangan. Tempo memberikan aksesibilitas berupa pendamping untuk Cheta. “Mekanismenya begitu, kalau liputan, harus pakai caretaker. Kalau caretaker enggak ada, saya nekat coba-coba sendiri, tapi akhirnya jadi runyam,” katanya.
Cheta mengakui tantangan terbesar sebagai difabel netra yang menjalani profesi jurnalis adalah mobilitas. Pasalnya, ia juga memiliki gejala stroke yang membuat keseimbangannya berkurang. Akibatnya, ia kesulitan mengejar narasumber. Ketika meliput suatu acara, Cheta akan menyampaikan kepada panitia tentang kondisinya. Biasanya, ia akan meminta ada seseorang yang menuntun ketika dirinya baru datang dan hendak pulang. “Yang penting sudah ada yang menyambut di depan lobi buat menuntun sampai kursi. Begitu selesai, balikin ke lobi depan hotel.”
Selain mobilitas, kendala terbesar yang dihadapi Cheta adalah saat tidak dipercaya. Bagi kebanyakan orang, kata Cheta, sebuah anomali ketika seorang tunanetra berprofesi sebagai jurnalis. Ia bercerita, ketika meliput ASEAN Para Games, panitia acaranya menyangka Cheta merupakan anggota tim sorak dari panti sosial bina rehabilitasi. Ia sampai harus mengeluarkan kartu pers agar panitia tersebut percaya bahwa dirinya datang untuk meliput.
*
Sejumlah pekerja difabel Tuli berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat di Inklusiv Warung, Canggu, Bali, 8 November 2022. TEMPO/Nita Dian
Serapan Tenaga Kerja Difabel Belum Sesuai dengan Target
Kesulitan mencari pekerjaan seperti yang dialami Cristo dan Vicente sejalan dengan data mengenai minimnya serapan tenaga kerja difabel. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan penempatan tenaga kerja difabel di perusahaan ataupun pemerintah masih belum mencapai target. “Karena masih banyak di bawah 1 persen penempatan dari jumlah keseluruhan tenaga kerjanya,” kata Ida dalam jawaban tertulis kepada Tempo, Selasa, 29 November lalu.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik periode Februari 2022, jumlah difabel yang bekerja sebanyak 7,8 juta orang. Kemudian dari jumlah itu, menurut data Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (WLKP) Kemenaker per Oktober 2022, hanya 3.433 difabel yang bekerja di perusahaan. Selain itu, kata Ida, baru 969 perusahaan atau 1,73 persen dari target 3.304 perusahaan di Indonesia yang mempekerjakan difabel.
Dari data WLKP dan laporan dinas ketenagakerjaan di daerah, tenaga kerja yang paling banyak adalah difabel fisik. Selain minimnya serapan, kualitas tenaga kerja difabel menjadi perhatian kementerian. Ida mengatakan kebanyakan para difabel berpendidikan di bawah SMP atau tamatan SD.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini menuturkan kewajiban perusahaan dan pemerintah dalam mempekerjakan difabel termuat dalam Pasal 53 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Bagi perusahaan atau instansi yang belum menjalankan amanat tersebut, Ida mengatakan belum ada sanksinya. “Pemerintah masih memberikan pendekatan dan sosialisasi untuk mendorong pemenuhan serta pelindungan hak pekerjaan bagi difabel.”
Ia menjelaskan, filosofi UU Penyandang Disabilitas adalah berdasarkan hak asasi manusia, bukan lagi charity. Dengan demikian, kata dia, tidak perlu sanksi atau punishment jika tidak mempekerjakan penyandang disabilitas. Walau demikian, ketentuan pidana diatur pula dalam UU Penyandang Disabilitas, yaitu pada Pasal 144 dan 145. Perorangan atau lembaga dapat dipidana apabila melarang dalam pemenuhan dan pelindungan hak difabel, termasuk hak pekerjaan.
Difabel netra mengikuti pelatihan penggunaan Internet dan Internet marketing di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Menurut Ida, ada berbagai tantangan yang dihadapi difabel dalam mendapatkan pekerjaan, yaitu hambatan aksesibilitas di lingkungan, transportasi, serta produk dan jasa. Selain itu, desain pelindungan sosial yang kurang menguntungkan, pendidikan dan pelatihan vokasi yang non-inklusif, hingga kurangnya dukungan bagi kaum muda dengan disabilitas dalam proses transisi dari sekolah ke tempat kerja.
Kemudian ketiadaan pelayanan ketenagakerjaan publik yang mendukung serta rendahnya kesadaran untuk patuh terhadap kewajiban kuota. Selain itu, kurangnya kesadaran dan keyakinan melibatkan difabel di tempat kerja, tempat dan peralatan kerja sulit dijangkau, kurangnya upaya penyesuaian tempat kerja, serta dukungan untuk mempertahankan pekerjaan dan mengembangkan karier.
Di samping itu, kurangnya dukungan bagi UMKM yang mempekerjakan difabel, adanya stigma dan stereotipe di masyarakat, serta diskriminasi yang cenderung terekspose ke kekerasan dan pelecehan, termasuk di tempat kerja.
Dalam mengakomodasi mereka mendapatkan pekerjaan, Kemenaker telah menggelar job fair khusus penyandang disabilitas serta bekerja sama dengan job portal, dinas terkait, dan pasar kerja. Program-programnya antara lain penguatan pemahaman paradigma pemenuhan hak pekerja bagi difabel, asesmen pembentukan kelembagaan atau pengorganisasian ULD Bidang Ketenagakerjaan di pusat dan provinsi.
Kemudian pembangunan jejaring supply dan demand tenaga kerja penyandang disabilitas (data TKPD) dan penguatan sensitivitas terhadap penyandang disabilitas SDM pengelola ULD Ketenagakerjaan. Pembekalan serupa juga dilakukan bagi pengelola serta instruktur di 21 balai pelatihan vokasi dan produktivitas. Lalu pemberian apresiasi untuk perusahaan dan BUMN yang mempekerjakan difabel, forum group discussion talenta muda, serta talent scouting bagi tenaga kerja muda difabel.
Pemberian apresiasi tersebut baru-baru ini dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Disabilitas Internasional yang jatuh setiap 3 Desember. Penghargaan tersebut diberikan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur atas kepedulian dalam program ketenagakerjaan yang inklusi bagi kelompok disabilitas.
Pemilik Inklusiv Warung, Gunn Wibisono (tengah) dan Hans de Waal (kiri), berbincang dengan pelanggan di Inklusiv Warung, Canggu, Bali, 8 November 2022. TEMPO/Nita Dian
Sementara itu, salah satu pengusaha yang telah menjalankan amanat UU Penyandang Disabilitas adalah Gunn Wibisono. Pemilik Inklusiv Warung di Canggu, Bali, ini mempekerjakan 17 pegawai Tuli, di antaranya sebagai bartender, manajer HRD, event manager, pramusaji, dan juru masak. Jumlah tersebut merupakan separuh dari total karyawan di restoran itu.
Gunn mengaku tertarik mempekerjakan mereka lantaran memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bagian dari minoritas. Awalnya, Gunn ragu akan kemampuan insan Tuli dalam bekerja. Namun, setelah beberapa bulan bekerja, kinerja mereka membuat ia terkesan. “Bagus banget. Jadi kayak mind opener buat aku. Ternyata aku punya banyak prasangka.”