Reporting
Mengapa Jumlah Duyung di Perairan Indonesia Menyusut? – Ilmu dan Teknologi
SEBAGAI Kepala Suku Laut Berakit di Kampung Panglong, Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Fransiskus Xaverius Tintin yakin betul warganya tak lagi berburu duyung atau Dugong dugong.
Fasilitator pembelajaran pada Yayasan Peduli Kepulauan Indonesia itu mengatakan anggota sukunya sudah sadar sejak penyuluhan mengenai satwa langka yang dilindungi dan terancam punah itu digencarkan perangkat desa dengan bantuan akademikus dan peneliti. “Saya jamin suku Laut sini tidak berburu duyung lagi,” kata Tintin sembari bersiap mengajar pada Sabtu, 28 Oktober lalu.
Tintin, yang menjadi kepala suku menggantikan ayahnya, Bone Pasius Boncit, yang wafat pada 2015, menceritakan warga suku Laut Berakit sudah mendapat sosialisasi pada 2009. Penyuluh ihwal keharusan melindungi duyung itu kebanyakan mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji di Tanjungpinang dan peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. “Kalau dari pemerintah pusat atau pemerintah provinsi tidak ada,” tutur pria yang bekerja sebagai pemandu wisata untuk turis asing ini.
Tintin juga melarang warga sukunya yang menggunakan jaring dan menebar alat tangkap melaut di lokasi keberadaan duyung, seperti di padang lamun. “Dulu, sebelum ada penyuluhan, masyarakat memang berburu duyung untuk dikonsumsi. Kalau mendapat duyung atau bertemu dengan yang mati terdampar, itu dimakan. Sekarang sudah tidak lagi,” ujar bungsu dari enam bersaudara anak pasangan Bone Pasius Boncit dan Veronika Saknah, warga suku Laut pertama yang mendarat di Berakit pada 1962, tersebut.
Tintin mengatakan masih banyak duyung di perairan Berakit, di sebelah utara hingga barat laut Pulau Bintan. “Biasanya muncul pada air pasang pagi, ketika sinar matahari belum terik. Saya sering jumpa. Kadang induk duyung mengantar anaknya makan di pesisir,” tutur pemuda 31 tahun yang masih melaut sesekali itu. Pernyataan Tintin dikuatkan Ari Juliandi, nelayan Berakit yang bukan orang suku Laut. Ari mengaku berjumpa dengan duyung baru-baru ini. Ia memastikan melihat duyung. “Karena sirip dan punggungnya berbeda dengan satwa laut lain,” kata Ari, 25 tahun.
Ihwal populasi duyung di Bintan, Sekar Mira Cahyopeni, peneliti mamalia laut dari Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan belum ada estimasi populasi duyung di Indonesia. Bahkan, menurut Mira—begitu periset ini biasa disapa—belum diketahui di mana saja hotspot duyung di Indonesia. Yang baru bisa dihasilkan penelitian skala besar, seperti Proyek Konservasi Duyung dan Lamun (DSCP), adalah peta sebaran duyung berdasarkan laporan penampakan serta kejadian terjerat jaring dan terdampar.
Sekar Mira Cahyopeni/Dok Pribadi
DSCP adalah upaya global pertama dalam konservasi duyung dan lamun di delapan negara Indo-Pasifik, yakni Mozambik, Madagaskar, Sri Lanka, Malaysia, Indonesia, Timor Leste, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu. DSCP didanai Fasilitas Lingkungan Global (GEF) serta didukung Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Nota Kesepahaman Duyung tentang Konvensi Spesies Bermigrasi. Proyek dan mitra penerapan di tiap negara dikoordinasikan oleh Dana Konservasi Spesies Mohamed bin Zayed.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaksanakan DSCP di empat kabupaten, yakni Bintan; Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah; Tolitoli, Sulawesi Tengah; dan Alor, Nusa Tenggara Timur, selama 2015-2018. Pemerintah bermitra dengan BRIN, Institut Pertanian Bogor (IPB University), Dana Dunia untuk Alam (WWF) Indonesia, Yayasan Lamun Indonesia, serta pemerintah daerah. “Empat kabupaten itu dipilih melalui simposium nasional yang memetakan daerah yang ada duyungnya,” ucap Mira, yang terlibat DSCP sejak awal.
Mira menjelaskan, Bintan terpilih karena memiliki banyak padang lamun yang merupakan habitat pakan duyung. Selain itu, sewindu sebelum DSCP berlangsung, Bintan menjadi lokasi proyek Situs Demonstrasi Pengelolaan Lamun Berbasis Masyarakat di Pantai Trikora (Trismades) yang juga didanai GEF/UNEP. Salah satu capaian Trismades, yang berlangsung selama 2007-2010, adalah terbentuknya suaka lamun berbasis masyarakat dan peraturan desa mengenai pelindungan lamun di Desa Teluk Bakau, Malang Rapat, Berakit, dan Pengudang.
Selain ada banyak habitat pakan untuk dugong, Mira melanjutkan, di Berakit dan Pengudang kerap terjadi duyung masuk ke kelong, alat tangkap ikan berbentuk kurungan yang terbuat dari kayu. Ada kelong yang ditancapkan di dasar laut, ada pula yang diapungkan di laut dekat pantai. “Jadi orang yang melihat duyung secara enggak sengaja jarang di Bintan. Kalau di Kotawaringin Barat atau Tolitoli, setiap sore bisa lihat duyung,” ujarnya. “Di Bintan itu jarang terlihat, tapi tahu-tahu ada yang masuk ke kelong, terdampar.”
Menurut Mira, banyak duyung yang masuk ke alat tangkap ikan karena masih banyak warga yang mengkonsumsinya, seperti di Kabupaten Lingga. Adapun di Berakit dan Pengudang, “Mudah-mudahan mereka sudah menjadi mantan pemburu duyung,” tutur kandidat doktor dari Institut Ilmu Lingkungan (CML) Universiteit Leiden, Belanda, ini. Mira sedang meneliti peran duyung dalam penyebaran lamun dan mengambil sampel di padang lamun dekat Pengudang dan Malang Rapat.
Iwan Winarto, pengelola Desa Wisata Pengundang, membenarkan kabar bahwa di daerahnya sering ada kejadian duyung terdampar. Kerangka seekor duyung yang terdampar di pantai Pengundang kini diawetkan dan menjadi alat peraga yang dipamerkan di balai serbaguna desa. Iwan menjelaskan, kerangka duyung yang dipamerkan sejak 2015 itu dirangkai dan diawetkan oleh mahasiswa IPB. Duyung yang mati terdampar itu dikuburkan sekitar setahun sebelumnya.
Juraij Bawazier, Sekretaris Yayasan Lamun Indonesia, mengaku sebagai salah satu penggali dan perangkai tulang duyung itu. Ketika itu ia masih menjadi mahasiswa Jurusan Biologi Universitas Padjadjaran, Bandung, yang meneliti lamun sebagai pakan duyung. “Saya masuk Bintan akhir 2014. Nelayan yang sering berdiskusi dengan saya mengaku menguburkan duyung terdampar delapan bulan sebelumnya,” kata Juraij melalui Zoom, Senin, 13 November lalu. “Saya lalu menghubungi teman-teman IPB yang memiliki minat pada mamalia laut itu.”
Menurut Juraij, adanya kerangka itu sangat membantu edukasi dan sosialisasi duyung sebagai satwa laut yang dilindungi oleh Undang-Undang Sumber Daya Hayati, Undang-Undang Perikanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. “Memang banyak cerita di masyarakat tentang putri duyung dan duyung merupakan jelmaan manusia karena memiliki lima jari di tangannnya,” tuturnya. “Duyung kan mamalia, pasti memiliki jari di tangannya. Kalau dikatakan ekornya ada jari, itu tidak benar.”
Menurut Iwan, pemerintah kabupaten atau pemerintah provinsi setempat harus mengeluarkan surat keputusan atau peraturan daerah tentang penyelamatan dan pelindungan duyung. Apalagi satwa langka ini terancam punah dan menjadi hewan andalan serta ikon Kabupaten Bintan. “Keseriusan pemerintah soal itu tidak ada. Untuk keluar surat keputusan Desa Wisata Pengudang ini pun kami yang mendorong. Kami berharap pemerintah yang jemput bola mencarikan solusi-solusi masalah seperti ini,” katanya.
Kepala Desa Pengudang, Kamali Labosa, membenarkan informasi tentang tiadanya peraturan desa ataupun peraturan daerah tentang konservasi duyung. “Yang ada saat ini peraturan desa tentang konservasi lamun. Yang spesifik aturan penyelamatan duyung tidak ada,” ucap pria 59 tahun itu saat ditemui pada Sabtu, 28 Oktober lalu. Padahal, menurut Kamali, desanya menjadi lokasi penting riset duyung. “Beberapa waktu lalu, peneliti dari BRIN datang. Mereka menemukan jejak duyung di pesisir Pengudang, walaupun tak ketemu duyungnya”.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhamad Firdaus Agung Kunto Kurniawan mengatakan Bintan menjadi lokasi DSCP karena, selain mewakili Sumatera secara geografis, kabupaten ini merupakan wilayah sebaran utama duyung dan padang lamunnya cukup luas. “Kondisinya memang membutuhkan intervensi berupa edukasi dan peningkatan awareness. Salah satu wilayah yang paling banyak laporan mengenai orang memanfaatkan duyung adalah Bintan,” kata Firdaus di kantornya, 5 Mei lalu.
Proyek pertama dari empat proyek DSCP Indonesia adalah memperkuat dan mengoperasikan kebijakan nasional serta rencana aksi konservasi duyung dan lamun. Tujuan proyek ini adalah memfasilitasi penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 yang menetapkan duyung sebagai satwa yang dilindungi, terutama di daerah-daerah yang masyarakatnya tak menyadari status tersebut. Untuk itu, dibutuhkan pengembangan strategi jangka panjang dan rencana aksi nasional konservasi duyung dan lamun.
Menurut Firdaus, kementeriannya telah menyusun dan menetapkan rencana aksi nasional konservasi duyung dan habitatnya melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 79 Tahun 2018. Periode rencana aksi nasional (RAN) itu, Firdaus menjelaskan, adalah selama 2018-2022. “KKP sedang dalam proses menyusun RAN konservasi duyung periode berikutnya, yang diawali dengan evaluasi dari RAN sebelumnya,” tuturnya. Dalam RAN Konservasi Duyung 2018-2022, ia menambahkan, ada enam sasaran yang dijabarkan dalam 53 kegiatan.
“Dari 53 kegiatan itu, baru 60 persen yang terlaksana,” ucap Firdaus. Berdasarkan evaluasi, kata dia, penyebab belum terlaksananya sebagian kegiatan itu antara lain keterlambatan pembentukan kelompok kerja rencana aksi mamalia laut. “Terlambat satu setengah tahun. Lalu, ketika terbentuk kelompok kerja di awal 2020, muncul pandemi Covid-19,” ujarnya. “Kegiatan RAN terhambat kendala biaya dan sumber daya manusia karena adanya pemotongan anggaran untuk penanganan Covid-19.”
Ihwal belum tersedianya data populasi duyung di Indonesia, yang menjadi salah satu sasaran RAN Konservasi Duyung, Firdaus mengatakan ada kendala luasnya perairan Indonesia, “Sehingga memerlukan upaya cukup besar yang kontinu dan metode yang tepat untuk mengestimasi populasi duyung di lokasi-lokasi yang menjadi sebaran utamanya. Sebaran duyung berada di hampir seluruh perairan di Indonesia, dari Aceh sampai Papua,” katanya.
Luasnya wilayah perairan Indonesia, Sekar Mira Cahyopeni menambahkan, memang menjadi tantangan dalam riset hotspot dan populasi duyung. “Sebenarnya pertanyaan tentang populasi dapat dijawab dengan mudah menggunakan teknologi pengindraan jauh (satelit),” ucap Mira saat ditemui di kantornya, Selasa, 14 November lalu. “Sayangnya, resolusi spasial satelit paling bagus sekarang 0,5 meter. Kalau duyung panjangnya 3 meter, itu hanya akan tampak sebagai enam piksel berderet,” tuturnya. “Artinya masih sangat sulit dideteksi, dibedakan dengan benda-benda lain.”
Mira menyebutkan penggunaan satelit itu hanya persoalan waktu karena teknologi terus berkembang. Ia mengungkapkan, mamalia laut yang lebih besar seperti paus sudah dipantau dengan satelit WorldView-3 milik Maxar Technologies. “Tapi untuk sekarang kita hanya bisa mengandalkan pemantauan terlokalisasi,” ujarnya. Masalahnya, kata Mira, menginterpolasi data yang terlokalisasi tidak mudah karena metode yang dipakai belum disepakati. “Ini yang sedang kami coba samakan.”
Mira menolak menyebutkan perkiraan populasi duyung Indonesia. Selama ini, yang menjadi rujukan adalah data dari Helene Marsh, profesor emeritus James Cook University, Australia. Dalam “Duyung Status Report and Action Plans for Countries and Territories” yang diterbitkan UNEP pada 2002, Marsh menyebutkan pada 1970-an populasi duyung diperkirakan sebanyak 10 ribu dan pada 1990-an sekitar 1.000. “Saya tanya ke Ibu Helene, angka itu dapat dari mana? Dia bilang itu hanya perkiraan,” ucap Mira, yang menyelesaikan studi Master of Applied Science Marine Biology di James Cook University pada 2012.
Pengelola Desa membersihkan kerangka dugong di Gedung Serba Guna Desa Pengudang, Bintan, Kepulauan Riau, 18 Oktober 2023/Tempo/Yogi Eka Sahputra
Di makalahnya, Marsh membuat penafian bahwa kedua perkiraan populasi ini hanyalah dugaan dan tidak dapat dianggap sebagai bukti penurunan pada periode berikutnya. Bagi Mira, masuknya duyung ke Daftar Merah Spesies yang Terancam menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) dengan status rentan (vulnerable) sudah cukup untuk mengatakan populasinya menurun. “Vulnerable artinya di seluruh dunia jumlahnya kurang dari 1.000. Dan dalam satu dekade terakhir penurunan populasinya 30-50 persen,” tuturnya.
Mira menambahkan, populasi duyung di Indonesia cenderung menurun karena ancaman terhadap mamalia laut yang pemalu ini bertambah masif. Padahal, kata Mira, siklus reproduksi duyung sangat panjang. “Duyung itu dewasa pada umur enam tahun. Buntingya satu tahun dua bulan, terus hanya melahirkan satu anak. Ia menyusui anaknya hampir dua tahun,” ujarnya. “Sementara itu, gangguan lingkungan terus meningkat tanpa ampun. Ocean noise, aktivitas pertambangan, lalu lintas pelayaran, reklamasi, dan perubahan lahan.”
Juraij Bawazier sepaham dengan Mira ihwal ancaman terbesar duyung adalah manusia. “Predator duyung itu hiu. Tapi ancaman yang paling besar adalah perbuatan manusia yang berakibat langsung pada duyung, seperti perburuan. Ada juga ancaman yang bertahap seperti kerusakan habitat karena aktivitas manusia,” kata Juraij. “Makanya sewaktu kami kampanye perlindungan duyung itu, yang paling gampang adalah menjaga habitatnya,” tuturnya. “Kalau habitatnya, tempat makannya, dan tempat aktivitas paling besarnya itu terjaga lestari, apakah duyung akan berpindah?”
Menurut Juraij, penampakan dan kemunculan duyung di Indonesia bisa dibilang masih seperti dulu. Dia mengatakan ada daerah yang sudah tidak memiliki duyung lagi. Banten contohnya. Namun ada pula daerah yang dulu dianggap tidak mempunyai duyung justru, dengan kemajuan teknologi, kemudian melaporkan kemunculan satwa itu. “Jadi bukan tak ada duyung di daerah itu, tapi karena tak ada yang bertemu saja,” ujarnya. “Sebagai peneliti, saya mau bilang bahwa duyung masih ada di Indonesia dan tugas kita menjaganya sebelum terjadi seperti di Cina.”
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Cina dan Zoological Society of London mengumumkan pada Agustus 2022 bahwa duyung sudah punah secara fungsional di Cina. Penelitian itu mewawancarai 788 nelayan di Hainan, Guangxi, Guangdong, dan Fujian yang mengaku tak pernah lagi bertemu dengan duyung sejak 2008. Padahal pemerintah Cina telah menetapkan duyung sebagai Grade 1 National Key Protected Animal alias hewan dilindungi level tertinggi sejak 1988. Apakah duyung Nusantara akan bernasib seperti kerabatnya di Cina?