Reporting
Nasib Pengungsi Ahmadiyah di Transito
Belasan tahun di pengungsian, ratusan anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok belum pulang. Menunggu pemerintah.
Warga Ahmadiyah tengah makan siang bersama di tempat tinggal salah satu pengungsi di Asrama Transito di Kota Mataram, 22 November 2022. TEMPO/Purwani Diyah Prabandari. tempo : 168236409637_9874999
Puluhan keluarga penganut Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat terpaksa meninggalkan rumah setelah berkali-kali mengalami persekusi. Lebih dari dua windu mereka menetap di Asrama Transito, Mataram. Jurnalis Tempo bertemu langsung dengan para pengungsi Ahmadiyah di lokasi pengungsian tersebut. Mereka memupuk mimpi yang sama: bisa pulang, tinggal di tanah dan rumah sendiri. Laporan ini terbit berkat dukungan dari program Round Earth Media, International Women’s Media Foundation.
**
JARUM jam belum menunjukkan pukul 06.00 pagi. Dari pintu depan yang terbuka sedikit, Senah terlihat sedang duduk. Wajahnya hanya sedepa dari layar televisi di ruang depan yang sempit, yang juga ruang tidurnya bersama sang suami, Syahidin. “Waalaikumsalam,” ujar perempuan berusia 48 tahun itu menyambut Tempo pada Sabtu, 26 November lalu.
Tak lama, putra bungsunya, Muhammad Khataman Nabiyin, keluar sembari membawa handuk. “Mau mandi dulu,” kata remaja kelas VI Sekolah Menengah Pertama Negeri 16 Mataram itu bergegas. Ia menuju jajaran kamar mandi umum untuk seluruh penghuni Asrama Transito.
Senah beranjak ke dapur yang hanya berbatas tirai biru, menggoreng pisang dan menyeduh dua gelas kopi. Lalu kami bergabung dengan Syahidin di bangku teras. “Maaf, berantakan,” kata lelaki berumur 53 tahun itu tentang tempat tinggalnya.
Keluarga Syahidin dan 34 keluarga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) lain telah lebih dari 16 tahun tinggal di Asrama Transito di Jalan Transito, Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Mereka pindah ke Transito setelah berkali-kali diamuk massa, yang menuding Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Rumah mereka di berbagai daerah di Pulau Lombok dirusak.
Asrama Transito dulunya merupakan penampungan sementara calon transmigran pada masa Orde Baru—sebuah bangunan terbuka yang kemudian dikaveling menjadi puluhan ruang terpisah menggunakan tripleks. Satu keluarga memperoleh satu ruangan. Keluarga Syahidin beruntung, menempati ruang yang dulu menjadi kantor sehingga agak luas.
“Saya mengalami sekitar delapan kali serangan dan berkali-kali pindah,” kata Syahidin, yang menjadi koordinator para pengungsi di Asrama Transito, sambil menyeruput kopi. Syahidin berasal dari Sambik Elen, Kecamatan Bayan, Lombok Utara—dulu masuk Lombok Barat. Pada 1997, dia memutuskan mengikuti Islam Ahmadiyah, yang kemudian diikuti keluarganya. Belakangan ada sekitar 10 keluarga Ahmadi (penganut Ahmadiyah) di Sambik Elen.
Sejak itu, warga desa yang berkeberatan atas kepercayaan mereka mulai mengganggu. Tak jarang dia dan keluarga penganut Ahmadiyah lainnya dihina, dihujat, bahkan sesekali mendapat serangan fisik.
Puncaknya, pada 2001, sejumlah warga desa menggeruduk rumah mereka. “Bunuh orang kafir!” Syahidin ingat kata-kata yang terus terdengar saat penyerangan tersebut. “Kami ini muslim. Bedanya, kami percaya Imam Mahdi (pemimpin yang diberi petunjuk oleh Allah) sudah datang,” katanya.
Seorang warga Ahmadiyah tewas dalam penyerangan tersebut.
Syahidin dan para tetangga berserakan, mengungsi ke keluarga Ahmadiyah lainnya di Kota Mataram. Keluarga Syahidin menumpang di rumah salah seorang anggota Jemaat Ahmadiyah di Monjok. “Tadinya dibawa ke Lombok Timur, tapi takut ada kejadian baru, akhirnya dibawa ke Mataram,” katanya. Beberapa bulan di sana, Syahidin dan 10 keluarga lainnya pindah lagi, kali ini ke Sumbawa.
Koordinator pengungsi Ahmadiyah di Asrama Transito, Syahidin, menunjukan bekas rumah warga Ahmadiyah yang hancur akibat serangan 2006 di Ketapang, Gegerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 26 November 2022. TEMPO/Purwani Diyah Prabandari
Tapi Sumbawa ternyata tidak lebih aman. Saat terjadi serangan besar-besaran terhadap warga Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur, pada 2002, keluarga Syahidin dan warga Ahmadiyah lainnya di sana terkena imbas. “Ahmadiyah pendatang, seperti saya, diusir,” katanya. Ia dan keluarganya mengungsi lagi ke Lombok Tengah. “Kebetulan ada rumah kosong, saya disuruh menempati.”
Di situ pun mereka mengalami persekusi. Syahidin sekeluarga akhirnya kembali ke Monjok dan mencicil sebuah rumah di perumahan di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Lombok Barat. “Tadinya enggak mau beli. Sudah habis harta saya,” kata Syahidin. Tapi ada yang membantu. Beberapa anggota jemaat Ahmadiyah lain yang berserak juga membeli kaveling di Ketapang. Ada pula yang menumpang.
Pada 2006, mereka kembali diserang. “Saya sedang tadarusan, tiba-tiba batu berjatuhan,” Syahidin menuturkan. Beberapa rumah rusak. Reda sebentar, datang serangan kedua. Syahidin dan sekitar 25 keluarga lainnya lantas memutuskan mengungsi ke Asrama Transito.
Meski hidup prihatin, di Transito, mereka terlindung dari amuk massa. Pada 2010, sekitar 13 keluarga kembali ke Ketapang. “Saking kami ingin hidup normal, bebas, kami berusaha pulang sendiri,” kata Syahidin. Tapi persekusi terjadi lagi. Mereka pun kembali ke Transito dan memutuskan menetap di sana sampai pemerintah menyatakan boleh menempati rumah sendiri.
Bantuan Pemerintah untuk Ahmadiyah Tidak Cukup
MENJELANG pukul 08.00, tetangga sebalik dinding Syahidin, Mahrufudin, keluar rumah sambil membawa karung. “Dia berangkat memulung,” kata Syahidin. Di tanah aslinya, Mahrufudin seorang petani, memiliki lahan sendiri. Sekarang, seperti warga Transito lainnya, dia mengerjakan apa saja untuk bertahan hidup. Istrinya berjualan di pasar.
Mereka sesungguhnya mendapat bantuan dari pemerintah. Tapi itu jauh dari cukup. Penghuni Asrama Transito lainnya, Munikah, yang mengaku lima kali menjadi korban persekusi, membuka warung jajanan dan seblak. Suaminya mencoba peruntungan sebagai tukang cukur.
Kebanyakan warga Transito berjualan di pasar atau menjadi tukang ojek. Syahidin terkadang juga ngojek, sembari menggarap sawah sewaan di Ketapang, sekitar 100 meter dari rumahnya yang telah hancur dan dipenuhi semak belukar.
Pada hari-hari pertama di Transito, mereka sering mendapat pandangan tak menyenangkan dari warga sekitar. Tempat tinggal yang sempit—setiap keluarga hanya mendapat petak sekitar 3 x 3 meter—kian menyiksa mereka. “Mereka merasa terkungkung. Di sini tidak ada kegiatan, tidak seperti saat bertani,” kata Salah Ahmadi, mubalig Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat, yang terus mendampingi pengungsi Transito.
Banyak yang tak tahan dan pergi. Muhamad, pria berusia 80 tahun yang mengalami gangguan kejiwaan akibat persekusi bertubi-tubi, misalnya, meninggalkan Asrama Transito. Ia membangun rumah sendiri seadanya, berdinding seng, di kebun miliknya di Ketapang. Padahal hanya beberapa langkah dari situ, rumah tembok anaknya berdiri, kosong. Saat kami menyapanya dan mengajak bicara, Muhamad, yang sibuk mencangkul, hanya tersenyum
Sehabudin di teras rumahnya yang juga menjadi dapur di Ketapang, Gegerung, Lombok Barat, 26 November 2022. TEMPO/Purwani Diyah Prabandari
Di belakang gubug reyot Muhamad, Sehabudin dan istrinya membangun rumah yang juga berdinding seng dan kain spanduk. Di dalamnya terdapat satu dipan kecil. Barang-barang berserakan. “Saya nunut (menumpang),” kata pria berusia 70-an tahun ini. “Di Transito tidak cocok, keringat mengalir terus.”
Dari rumah daruratnya, Sehabudin dapat melihat bekas rumahnya di antara deretan rumah-rumah yang hancur, di seberang jalan, yang dulu dihuni lebih dari 25 keluarga Ahmadiyah, termasuk Syahidin dan Muhamad.
Angka Persekusi terhadap Ahmadiyah Paling Tinggi
DATA SETARA Institute, lembaga yang rutin memantau kehidupan beragama di Indonesia sejak 2007, menunjukkan masyarakat Ahmadiyah—terutama Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang pengikutnya mencapai 400 ribu orang—paling banyak menjadi korban tindakan intoleransi dan diskriminasi.
Selama 2007-2022, terdapat 591 kasus pelanggaran kebebasan beragama terhadap komunitas Ahmadiyah. “Diikuti Kristen, sebanyak 437 kasus,” kata Syera Anggreini Buntara, peneliti kebebasan beragama/berkeyakinan SETARA Institute.
Bentuk pelanggarannya beragam, dari kekerasan dan intimidasi, larangan beribadah, penyerangan rumah ibadah, diskriminasi dalam pelayanan publik, intoleransi, represi serta pembiaran negara, hingga tindakan tidak menyenangkan oleh kelompok masyarakat.
Lima tahun terakhir, jumlah aksi intoleransi yang dialami komunitas Jemaat Ahmadiyah jauh berkurang, tapi perlakuan terhadap mereka tetap lebih buruk dibanding yang diterima kelompok Kristen dan yang lainnya. “Seperti tempat tinggal dirusak di Lombok Timur pada 2018 dan rumah ibadah dirusak di Sintang (Kalimantan Barat) pada 2021,” kata Syera.
SETARA juga mencatat, daerah yang paling tidak ramah terhadap anggota JAI adalah Jawa Barat, disusul Nusa Tenggara Barat, Banten, dan Kalimantan Barat. “Di Jawa Barat terdapat 23 peraturan yang diskriminatif kepada JAI,” ujar Syera.
Komunitas muslim minoritas lainnya yang juga kerap menjadi sasaran aksi intoleransi atau diskriminasi adalah kelompok Syiah. “Kebanyakan larangan peringatan Asyura,” kata Syera. Pada 2012, komunitas Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, mengalami persekusi dan hingga kini sebagian besar masih berada di pengungsian di Rumah Susun Puspa Agro di Sidoarjo, Jawa Timur.
Meskipun, pada 2020, nyaris semua pengungsi tersebut telah berbaiat pada aliran Ahlussunnah Wal Jamaah atau Sunni yang dianut mayoritas muslim Indonesia. (Baca: Baiat Sunni, tapi Belum Kembali)
Menurut Syera, tindakan diskriminatif dan intoleransi terhadap komunitas JAI cenderung struktural. “Ada SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri yang diturunkan menjadi berbagai peraturan di level provinsi dan kabupaten/kota yang semakin restriktif,” katanya. Total, ada 71 peraturan di tingkat nasional dan lokal.
Sebagian besar tindakan diskriminatif dan intoleransi terhadap warga Ahmadiyah terjadi pada 2008-2011, setelah penerbitan SKB Tiga Menteri—Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung—tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat pada 2008.
SKB memerintahkan JAI menghentikan penyebaran paham dan kegiatan yang menyimpang dari ajaran agama Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad.
Ahmadiyah, yang didirikan di India oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), masuk Indonesia pada 1924-1925. Pada 1953, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Qadiyan) yang meyakini Ghulam Ahmad sebagai imam mahdi terdaftar sebagai organisasi sosial kemasyarakatan. Sementara itu, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Lahore), yang meyakini Ghulam sebagai pembaru, tercatat sebagai organisasi sosial pada 1963 dan diumumkan pada 1966.
“Pada dasarnya dulu damai,” kata Saleh Ahmadi. “Ahmadiyah bahkan terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.” Perbedaan dengan masyarakat muslim lainnya tidak berujung pada kekerasan berat. Bahkan ketika ia masih kecil di Lombok Timur, menurut Saleh, komunitas Ahmadiyah tak pernah mengalami masalah dengan warga lainnya.
Situasi mulai berubah pada zaman Orde Baru. Pada 1980, lima tahun setelah berdiri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah Qadiyan sebagai aliran di luar Islam. Kemudian, di era reformasi, pada 2005, MUI kembali mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah—tanpa menyebut Qadiyan atau Lahore—sebagai aliran di luar Islam yang sesat dan menyesatkan. Mereka juga mewajibkan pemerintah melarang penyebaran aliran Ahmadiyah, membekukannya, dan menutup semua tempat kegiatannya.
Menurut H. Kandali Achmad Lubis, sekretaris bidang eksternal JAI dan pemimpin Humanity First Indonesia, organisasi kemanusiaan JAI, “serangan terbuka” terhadap warga Ahmadiyah mulai marak pasca-reformasi 1998. Kandali dan Saleh yakin penyebabnya kebanyakan kepentingan politik. “Insiden sering terjadi dekat-dekat peristiwa terkait dengan politik,” ujar Kandali.
Saleh sendiri mengalami beberapa kali persekusi di berbagai daerah, di antaranya di Lombok Timur, Padang, dan Makassar. “Kami betul-betul tertekan, diperlakukan tidak adil, tercerabut hak konstitusi kami,” ujarnya.
Menanti Bantuan Rumah untuk Ahmadiyah
PEMERINTAH pusat dan daerah terus berusaha mengatasi persoalan jemaat Ahmadiyah meski sangat lamban. Kepala Dinas Sosial Nusa Tenggara Barat, Ahsanul Khalik, mengatakan para pengungsi Ahmadiyah telah mendapat kartu tanda penduduk Kota Mataram pada 2010. “Mereka bisa ikut pemilu ataupun pemilihan kepala daerah,” katanya. Sebelumnya, banyak hak sebagai warga negara tak bisa diakses, seperti hak politik ataupun bantuan sosial.
Mereka juga sudah dapat mengakses beragam bantuan, di antaranya bantuan sosial, program keluarga harapan untuk keluarga tak mampu, serta bantuan pangan non-tunai. “Yang mutakhir adalah proses pembuatan sertifikat bukti kepemilikan tanah,” kata Ahsanul.
Kantor Staf Presiden (KSP) memfasilitasi pengungsi Ahmadiyah mendapatkan bantuan pembangunan rumah dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Tapi wujudnya sampai sekarang belum terlihat. Rumadi Ahmad, tenaga ahli utama Kedeputian V KSP bidang politik, hukum, keamanan, dan hak asasi manusia, mengatakan bantuan tersebut sedang mereka proses. “PUPR sudah oke membantu, tapi lahan yang digunakan harus milik dan atas nama warga,” kata dia pada 19 Januari lalu.
Saleh Ahmadi, tokoh Ahmadiyah NTB, menganggap program KSP dan PUPR rumit. “Pola Lombok Timur lebih sederhana,” katanya. Yang dia maksudkan adalah bantuan pembangunan rumah warga Ahmadiyah korban serangan di Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur, pada 2018.
Di sana, pemerintah kabupaten dan provinsi langsung turun tangan sehingga, pada 2020, sembilan keluarga pengungsi telah menempati rumah barunya. “Saya keluarkan SK tanggap darurat sehingga bisa mengeluarkan biaya tak terduga,” kata Ahsanul, pejabat Bupati Lombok Timur, saat insiden serangan terjadi. Jemaat Ahmadiyah juga membantu. “Kami bergotong royong,” kata Saleh.
Namun sekarang pemerintah daerah menyatakan tidak mampu. Pandemi menggerus keuangan mereka. Itu sebabnya Kementerian PUPR mengambil alih rencana pembangunan rumah bagi pengungsi yang tersisa. Di daftar Dinas Sosial tercatat ada 50 keluarga, termasuk Syahidin, Sehabudin, dan Muhamad, juga mereka yang di luar Transito, seperti di penampungan di bekas rumah sakit umum daerah Praya, Lombok Tengah.
Ahsanul mengatakan pembangunan rumah untuk mereka yang sudah memiliki tanah bersertifikat ditargetkan tuntas pada tahun ini. Kecuali kompleks di Ketapang, menurut dia, belum aman untuk kembali ditempati warga Ahmadiyah. “Kami tidak mau timbul persoalan baru,” katanya. “Demi keselamatan mereka juga dan ketenangan kondisi sosial.”
Masalahnya, banyak pengungsi tak punya tanah. “Itu kami pikirkan juga,” kata Ahsanul. Yang dia maksudkan dengan kami adalah pemerintah dan Jemaat Ahmadiyah bersama mengurusnya.
Yang paling sulit adalah mengupayakan para warga Ahmadiyah bisa diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Ahsanul mengatakan pemerintah telah menggulirkan banyak program. Selain itu, menurut Rumadi Ahmad, pemerintah membahas kembali berbagai aturan diskriminatif, termasuk SKB Tiga Menteri. “Sudah ada pembicaraan, tapi kami belum membuat semacam policy brief,” katanya.
Hubungan baik di tengah masyarakat juga menjadi perhatian utama JAI. Itu sebabnya, pada 2016, JAI memutuskan menambah rabtah (silaturahmi) dalam programnya. “Memperbanyak teman, membuka diri, bergaul,” kata Kandali Achmad Lubis.
Berbagai pertemuan dan kerja bersama dengan masyarakat non-Ahmadiyah dan pemerintah diperbanyak. Seperti saat Jalsah Salanah (pertemuan tahunan) Nasional di Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 6-8 Januari lalu. Tokoh non-Ahmadiyah dan pemerintah hadir dan berbicara, di antaranya Rumadi Ahmad; anggota DPR Taufik Basarah; wakil dari Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Depok, Loepianto; dan Ketua Komnas Perempuan, Andi Yetriyani.
Sementara itu, Humanity First Indonesia juga kian giat bekerja. Bahkan mereka terpilih menjadi “Ikon Prestasi Pancasila 2001” oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Jauh di Mataram, di Asrama Transito, harapan Syahidin dan keluarga pengungsi Ahmadiyah lainnya hanya satu: bisa segera pulang, tinggal di tanah dan rumah sendiri. “Yang penting bagi kami, jaminan keamanan,” kata Syahidin.