Reporting
PrEP Enters Indonesia. Are We Ready?
Setia Perdana adalah pengguna PrEP sejak 2015 lalu. Ia sering bolak-balik Thailand, untuk membeli PrEP dengan aksesnya lebih mudah dan murah. | Emily Johnson untuk Round Earth Media/IWMF
Oleh: Aulia Adam – 29 Oktober 2019 Dibaca Normal 4 meni
Pre-Exposure Prophylaxis atau PrEP jadi tren baik di sejumlah negara yang serius menangangi HIV. Di Indonesia, ia masih susah diakses karena pemerintah tak punya dana.
tirto.id – “Selamat Setia, kamu sudah empat tahun menggunakan PrEP!”
Tiga hari sebelum kami bertemu, pertengahan Agustus kemarin, Facebook mengirim pesan itu ke Setia Perdana, seorang pengguna PrEP di Indonesia.
Sejak 2015, ia memang memutuskan untuk menggunakan PrEP sebagai perlindungan multilapis dari Human Immunodeficiency Virus alias HIV, virus yang penanganannya masih jelek di Indonesia. PrEP adalah salah satu metode paling mutakhir dalam pencegahan penularan HIV bagi orang yang berstatus HIV negatif. Ia adalah obat antiretroviral (ARV) yang semula hanya dipakai untuk orang yang positif HIV—virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia.
Biasanya masuk melalui mukosa, menginfeksi sel dendritik lalu sel CD4 (komponen dalam sel darah putih). Virus kemudian dibawa kelenjar getah bening, berkembang biak di kelenjar limfa, lalu menyebar ke organ lain seperti otak, limpa, usus hanya dalam hitungan hari karena terbawa aliran darah.
Terapi ARV bertujuan untuk menghambat replikasi virus dan menekan pertumbuhannya sehingga CD4 meningkat dan sistem kekebalan tubuh kembali pulih.
ARV telah menjadi program penanggulangan HIV-AIDS di seluruh dunia karena efektif menekan jumlah HIV sampai ke tingkat yang tidak bisa dideteksi alat deteksi jumlah HIV (HIV Viral Load). Selain itu, ARV juga mencegah pengidap HIV menularkan virusnya kepada orang lain.
Artinya, ARV punya dua manfaat, yakni sebagai penyelamat hidup dan pencegah penyebaran.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (CDC) Amerika Serikat pertama kali mengesahkan obat PrEP sebagai bagian dari strategi pencegahan HIV pada pertengahan Juli 2012.
Sementara Badan Kesehatan Dunia (WHO), sejak 2014, sangat merekomendasikan metode ini, karena kemampuan PrEP yang diklaim efektif mencegah penularan virus HIV hingga 96 persen jika dikonsumsi setiap hari.
Setia yang gay, sudah aktif secara seksual sejak umur 21. Ia merasa akses kondom di Indonesia masih punya banyak tantangan, sehingga merasa perlu proteksi yang lebih maju dan bisa dipercaya. Masalah itu mulai dari stigma dan stereotipe, pendidikan seks yang minim, hingga pandangan tabu bagi para penggunanya, bahkan saat membeli.
“I need something beyond condom,” kata Setia.
Sayangnya, akses PrEP di Indonesia sangat terbatas. Sebelum menggunakannya, Setia sempat melakukan riset dan tahu beberapa tempat di Jakarta dan Bali yang menyediakan PrEP. Namun, informasi itu hanya beredar di kalangan tertentu: mereka yang mampu membeli. Sebabnya, PrEP belum masuk program pencegahan HIV di Indonesia.
Sampai sekarang ARV hanya tersedia untuk mereka yang positif HIV. Keadaan ini juga bikin penyuplai PrEP jadi kepayahan menjaga stok, padahal ia harus diminum tiap hari.
Setia akhirnya harus terbang sendiri ke Thailand, negera paling dekat yang sudah memasukan PrEP dalam program penanganan HIV nasional. Di klinik swasta dan pemerintah, PrEP bisa diakses dengan harga yang disubsidi sekitar Rp250-300. Dulu, tiap tiga bulan sekali ia harus pulang-pergi Thailand, karena dalam sekali perjalanan ia hanya boleh membeli tiga botol—stok untuk tiga bulan.
Beberapa tahun lalu, Setia bahkan tak perlu repot memikirkan bagaimana mengakses PrEP karena sempat tinggal dan bekerja di Bangkok. Tapi, setelah kembali ke Indonesia, rutinitas pulang-pergi Bangkok-Jakarta itu kembali dilakoninya. Meskipun terhitung mampu, Setia tak menampik bahwa keadaan itu harusnya bisa lebih baik jika pemerintah ikut turun tangan mempermudah akses PrEP. “Saya perlu terbang empat jam ke luar negeri. Tidak ada asuransi, tidak ada lindungan dari negara, beberapa (jenis) PrEP bahkan tidak terdaftar di BPOM sini, masih tidak legal. Padahal angka HIV di Indonesia buruk,” ungkapnya.
Tak Ada Duit, Tak Serius Menangani
Setia tak salah. Penanganan HIV di Indonesia memang termasuk yang paling buruk di dunia. Data terakhir Kemenkes, 27 Agustus 2019, menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 1987–30 Juni 2019 adalah 466.859. Terdiri dari 349.882 HIV dan 116.977 AIDS.
Estimasi kasus kumulatif HIV/AIDS sebanyak 640.443, tapi yang terdeteksi baru 349.882 (60,7%). Itu artinya ada 290.561 (39,3%) kasus HIV/AIDS di masyarakat yang tidak terdeteksi. Sementara pada 2018 saja, angkanya ODHA yang dalam masa pengobatan ARV cuma 17 persen dengan jumlah yang baru terinfeksi sampai 46 ribu. UNAIDS menyebutnya sebagai, salah satu epidemik yang tumbuh paling cepat di regional Asia Pasifik.
Keadaan itu sempat makin parah karena gagal tender pengadaan obat ARV jenis Fixed Dosed Combination (FDC) akhir 2018 kemarin dengan perusahaan farmasi distributor PT Kimia Farma dan PT Indofarma Medika.
Situasi itu sempat menyebabkan kekosongan stok FDC sampai Mei, dan bikin penanganan HIV makin runyam. Gagal lelang itu karena harga yang dipatok Kimia Farma lebih tinggi dari kemampuan finansial Kemenkes. Solusinya? Kemenkes akhirnya menggunakan dana hibah dari Global Fund untuk membeli stok pengganti ARV.
Masalah dana juga yang jadi penyebab PrEP tidak masuk program penanganan HIV nasional. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, dokter Wiendra Waworuntu, mewakili Kemenkes mengakui kebaikan PrEP yang sudah terbukti berhasil menekan jumlah infeksi baru HIV di Thailand, Vietnam, Australia, Malaysia, dan sejumlah negara lain. Ia juga mengaku tak ada larangan menggunakan PrEP bagi yang mampu.
“Ya tetapi, pemerintah tidak bisa menanggung semuanya dong. Bisa bangkrut,” katanya. “Dibolehkan (pakai) kok, cuma tidak ditanggung pemerintah.”
Dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019 Penanggulangan HIV dan AIDS Di Indonesia, mencatat kebutuhan pendanaan terkait HIV/AIDS tahun 2019 sebesar US$ 184,71 juta. Namun, anggaran yang tersedia hanya US$ 75,59 juta, sehingga ada kekurangan US$ 109,12 juta. Kesenjangan dana terus meningkat sejak tahun 2015 yang hanya US$ 22,45 juta.
Namun, hal itu perlu dipikirkan masak-masak, kata Innu Kania Pahlesa, salah satu konselor dan perawat di RSUD Syamsudin, Sukabumi, Jawa Barat. Salah satu faktor buruknya penanganan HIV di Indonesia adalah stigma yang masih lekat pada ODHA dan kelompok paling berisiko, seperti pekerja seks komersil, dan kelompok rentan minoritas gender.
“Enggak bisa dimungkiri, masih banyak petugas layanan yang pemahamannya juga belum baik. Dan masih menstigma,” kata Innu. “Itu yang bikin, pasien akhirnya juga malas mengecekkan diri lagi ke layanan.”
Belum lagi, masalah akses. “Saya punya pasien yang datang dari daerah, dan butuh waktu enam sampai delapan jam ke layanan kami di Sukabumi. Dan bisa habis 300-400 ribu cuma untuk ambil obat (ARV),” tambah Innu.
Menurutnya, pemerintah harus lebih serius untuk menginisiasi masuknya PrEP jadi program nasional karena kebaikan yang dimiliki obat itu. Innu yang sempat hadir dalam simposium PrEP pertama di Indonesia, 21-22 Juni lalu di Jakarta, mendengar paparan dari negara-negara tetangga yang sudah berhasil menurunkan angka infeksi barunya setelah PrEP jadi program nasional.
Thailand misalnya, berhasil menurunkan angka bayi terinfeksi HIV yang mencapai seribu pada tahun 2000, menjadi hanya 85 pada tahun 2015.
Selain dipakai untuk mencegah penularan HIV lewat hubungan seksual, PrEP juga bisa digunakan pasangan yang—keduanya atau salah satu pasangan—mengidap HIV untuk melahirkan anak yang tidak terpapar virus, alias negatif. Sehingga jumlah bayi yang terlahir HIV bisa jauh berkurang.
Sayangnya, karena harga dan akses PrEP yang belum bisa dijangkau semua kelas, situasi ideal itu belum bisa tercapai.
Pro-Kontra PrEP Meski punya banyak kelebihan, pengguna PrEP juga tak terhindar dari stigma.
“Mirip-miriplah dengan stigma ke pengguna kondom,” kata Setia. Biasanya pengguna PrEP dianggap mempromosikan seks bebas, “Dan promoting bareback sex [seks tanpa kondom],” tambahnya. Sehingga, sering kali dianggap penyebab meningkatnya penyakit menular lewat seks lainnya (STD—sexual transmitted disease), selain HIV.
“Padahal hitung-hitungannya enggak bisa gitu,” kata Setia.
Ada banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya STD. Misalnya, pendidikan seks sejak dini yang bapuk, sosialisasi kondom yang ditimpa stigma, dan tidak ramahnya sistem kesehatan pada minoritas gender dan kelompok berisiko lainnya.
Setia punya opini senada dengan Innu. Menurutnya, di sanalah peran pemerintah untuk menunjukkan keseriusan menangani penyebaran HIV.
Hartoyo, aktivis dari Suara Kita, lembaga swadaya yang vokal menyuarakan HAM adalah salah satu yang tidak terlalu setuju dengan ide memasukkan PrEP jadi program penanganan HIV nasional. Selain karena lebih yakin pada program kondom, Hartoyo juga melihat peluang anggaran PrEP bisa jadi celah untuk disalahgunakan oleh kelompok tertentu, sebagaimana dugaan korupsi obat ARV.
“Bisa jadi tender-tenderan lagi kan. Ya mendingan fokus di program kondom aja yang stoknya masih numpuk di Kemenkes itu. Fokus perbaiki salahnya di mana. Toh, kondom paling efektif menghindari STD, bukan cuma HIV kan,” kata Toyo.
Innu punya pendapat agak berbeda. Ia tak menampik khasiat kondom dan penerapan promosinya yang masih banyak menghadapi stigma, terutama di daerah-daerah. Tapi, tetap melihat potensi penggunaan PrEP yang terbukti bisa membantu penanganan HIV di negara-negara lain.
Setia juga punya opini serupa Innu. Ada banyak masalah penanganan HIV yang masih keteteran dituntaskan Kemenkes dan Pemerintah.
“Angkanya terbukti naik terus, dan stigma itu masih ada,” kata Setia. Itu sebabnya, pemerintah harus segera berbenah dan makin serius menangani HIV, jika tak mau ada ledakan HIV dan AIDS di Indonesia.
“Segera kita akan jadi negara maju kan, dan otomatis Global Fund enggak bisa kasih bujet lagi. Di saat yang sama, masalah HIV masih ada, mau andalin apa lagi?” tanyanya.
Baca juga artikel terkait HIV AIDS atau tulisan menarik lainnya Aulia Adam (tirto.id – Kesehatan)
Penulis: Aulia Adam
Editor: Mawa Kresna