Reporting
Red Reports on HIV Handling and Alleged Corruption of ARV Drugs
Penderita HIV/AIDS menunjukan obat Antiretroviral (ARV) yang biasa diminum untuk terapi pengobatan di RSUD Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (1/12). dari seluruh penderita HIV di Indonesia hanya sekitar 17 persen saja yang mendapatkan terapi pengobatan Antiretroviral (ARV) dimana obat ini tidak membunuh virus, tapi memperlambat pertumbuhan virus. ANTARA FOTO/Lucky R./pd/16
Oleh: Aulia Adam – 29 Oktober 2019 Dibaca Normal 5 menit
Ada relasi kuasa yang timpang antara Kemenkes dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), di tengah penanggulangan HIV Indonesia yang dapat rapor merah.
tirto.id – Libra—bukan nama sebenarnya—tak menaruh curiga apa pun, ketika puskemas mengganti obat yang biasa dikonsumsinya satu tablet jadi tiga pecahan pada Maret lalu. Sudah setahun terakhir ia didiagnosis positif HIV, dan sejak itu pula menjalani antiretroviral (ARV) theraphy.
“Khasiatnya sama aja, cuma yang satu tablet memang lagi kosong,” kata Libra mengulangi ucapan petugas puskemas padanya.
Sejak pertama kali didiagnosis, Libra menggunakan jenis ARV kombinasi Tenofovir, Lamivudin, dan Efavirenz (TLE) dalam bentuk Fixed Dosed Combination (FDC) yang hanya perlu diminum 1 butir sekali.
Puskesmas tempat Libra biasa mengambil FDC—yang namanya dirahasiakan demi keamanan identitas Libra—memberikannya pecahan ARV dengan dosis Tenofovir 1 butir, Lamivudin 2 butir, dan Evavirenz 1 butir. Alhasil, ia jadi lebih ribet mengingat jadwal minum yang harus dibagi siang-malam, dan menghapal obat mana yang harus diminum.
“Tapi, selama khasiatnya sama, saya enggak ada kepikiran apa-apa kemarin itu. Aman aja pasti,” kata Libra.
Namun, efek samping pergantian obat itu terasa langsung di hari pertama. Kepala Libra jadi pusing sekali setelah meminumnya, di kulit perut dan punggung Libra juga muncul ruam-ruam. Ia sempat panik, tapi tetap lanjut mengonsumsi obat ARV itu selama dua hari kemudian.
“Minum ARV kan memang enggak bisa berhenti sehari pun,” kenangnya. “Karena kerja, saya baru bisa ke puskesmas lagi dan minta ganti di minggu berikutnya.” Beruntung, puskesmas itu akhirnya mau mengeluarkan satu botol FDC untuk Libra. “Kata mereka waktu itu, sisa FDC sebetulnya tinggal dikit sekali. Dan disisakan untuk ODHA baru,” tambah Libra.
Beruntung, puskesmas itu akhirnya mau mengeluarkan satu botol FDC untuk Libra. “Kata mereka waktu itu, sisa FDC sebetulnya tinggal dikit sekali. Dan disisakan untuk ODHA baru,” tambah Libra.
Libra tak pernah memeriksa lebih lanjut ruam merah yang muncul di tubuhnya, setelah semua kembali normal ketika ia mengonsumsi FDC lagi.
Menurut Dokter yang pernah ditanya Libra, beda jenis ARV memang punya beda efek samping buat tiap orang. Kondisi putus obat bisa membikin resistensi virus dan orang tersebut harus mendapat resep lain dengan jenis atau dosis obat berbeda. Konsumsi ARV memiliki efek samping jangka pendek berupa lelah, mual (sakit perut), muntah, diare, sakit kepala, demam, nyeri otot, insomnia.
Yang tak diketahui Libra, ARV jenis FDC memang sempat mengalami kelangkaan di Indonesia karena tender pengadaannya oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) gagal. ARV jenis FDC didistribusikan dari India ke Indonesia lewat tender terbatas yang dilakukan oleh Kemenkes dengan PT Kimia Farma dan PT. Indofarma Global Medika.
Desember 2018 lalu, mirisnya, tender itu gagal karena kedua perusahaan farmasi tak menyetujui harga rasional yang diajukan Kemenkes.
“Waktu tahu penyebabnya, saya geram sendiri. Gini banget ternyata hidup jadi ODHA,” kata Libra yang baru tahu belakangan. “Obat yang harus dikonsumsi tiap hari supaya tetap hidup—hidup saya harus bergantung banget sama negara,” tambahnya dengan nada sedih.
Monopoli Harga
Putaran bisnis ARV memang besar.
Estimasi ODHA pada tahun 2016 sebanyak 640.443, sedangkan yang dilaporkan sampai dengan Juni 2019 sebanyak 349.882 atau sebesar 60,7 persen. Sementara, ARV memang harus dikonsumsi seumur hidup pengidap HIV dan tidak boleh terputus. Ini membuat ARV jadi bisnis yang menjanjikan.
FDC TLE diproduksi perusahaan farmasi di India. Pemasarannya di Indonesia dilakukan secara tunggal oleh PT Kimia Farma. Namun, per Juli 2018, PT Indofarma Global Medika mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Merek dagangnya Telura. Diproduksi PT Mylan, India.
Selama ini Kimia Farma menjual FDC dengan harga Rp404.370 sementara Indofarma dengan harga Rp385 ribu per paket. Padahal harga obat ini di pasaran internasional hanya berkisar di angka Rp112 ribu.
Berdasarkan hitungan yang dilakukan Indonesia AIDS Coalition (IAC) tahun 2016, seharusnya harga ARV di pasaran berkisar Rp175 ribu saja. IAC merupakan koalisi relawan peduli ODHA yang memantau jumlah distribusi ARV di Indonesia.
Hitungan ini didasarkan pada harga ARV dari Global Fund sebesar Rp105ribu dengan asumsi bea masuk, asuransi dan gudang masing-masing sebesar 5 persen, bunga bank 1,50 persen, biaya distribusi 10 persen, margin perusahaan 20 persen, dan PPN 10 persen.
Untuk bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai khusus untuk bahan baku ARV sebenarnya juga sudah dihapus lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 197/KMK.010/2005. Seharusnya dengan kebijakan itu harga semakin murah dan keuntungan yang diperoleh dari penjualan ARV bisa lebih maksimal.
“Artinya, keuntungan yang mereka ambil jauh lebih besar dari harga obat. Apalagi jika mengurus bebas bea masuk dan PPN,” ungkap Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana.
Selama ini pemerintah juga tidak banyak menganggarkan dana untuk pengadaan ARV. Pada tahun 2016, anggaran pengadaan ARV mencapai Rp826 juta, naik menjadi Rp1,19 miliar pada 2017. Namun, pada 2018 tak ada anggaran yang digelontorkan karena lelang terbatas batal.
Sementara itu jumlah ODHA yang diobati dengan obat ARV sampai Juni 2019 sebanyak 115.750, menurut data Kemenkes. Belum semua yang terdiagnosis HIV mendapatkan terapi ARV. Baru sekitar 70 persen ODHA yang pernah mendapat pengobatan ARV, tapi hanya 33 persen yang rutin menerima pengobatan ARV. Angka putus obat tinggi yaitu 23 persen.
Prevalensi individu yang tahu status mencapai 301.959 jiwa, pernah menerima pengobatan 180.843 jiwa, dan sedang dalam pengobatan sebesar 96.298 jiwa. Mayoritas ODHA di Indonesia sebanyak 43,586 jiwa atau sekitar 42 persen dari total ODHA.
Akibat kegagalan lelang 2018—menurut data IAC—stok ARV di beberapa fasilitas kesehatan sempat kosong. Di Jabodetabek, Jawa Tengah, Deli Serdang, Makassar, Palembang, dan Medan. Ada pun stoknya terbatas. Kondisi yang telah terjadi sejak paruh terakhir 2018.
“Kasus gagal tender belum pernah terjadi,” ungkap Aditya. Sebab sebelum ini penyedianya hanya Kimia Farma. “Karena sifatnya obat program, maka dibatasi peredarannya di jalur komersial. Tadinya obat ini tidak ada izin edar.”
Solusi Sesaat
Kemenkes akhirnya melakukan pengadaan darurat obat ARV FDC dengan menggunakan dana bantuan donor Global Fund. Mereka membeli langsung ARV dari produsen di India, akan tetapi hanya dalam jumlah terbatas, yakni sebanyak 220 ribu botol.
Jumlah tersebut cuma mencukupi kebutuhan hingga bulan April 2019. Pasca-April 2019, jika masih terjadi kebuntuan proses lelang, maka krisis obat ARV FDC akan berulang dan bahkan dalam skala lebih luas.
Obat-obat itu akhirnya mulai disalurkan ke layanan-layanan (puskesmas dan rumah sakit) sejak awal Oktober kemarin. Kemenkes mengklaim obat ARV tipe FDC akan aman sampai setidaknya 11 bulan ke depan.
Masalahnya, bisakah cara mengandalkan dana hibah Global Fund selalu jadi solusi?
“Lebih dari 80 persen pemenuhan kebutuhan obat ARV berasal dari pengadaan APBN. Pengadaan dari GF hanya sebagai pelengkap mengisi gap, jika ada kebutuhan obat yang mendesak,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, dokter Wiendra Waworuntu.
IAC punya analisis lain. “Saya curiga tender ini memang diatur supaya gagal sehingga pemerintah harus beli ARV pecahan,” ujar Adit skeptis.
Jika membeli ARV dalam bentuk pecahan, maka BUMN farmasi tersebut tetap menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara Kemenkes tidak punya jalan lain karena obat harus terus tersedia. Celah monopoli ini yang bikin ada jurang power relation yang besar antara Kemenkes dan ODHA. Seolah-olah ODHA cuma bisa bergantung pada keputusan finansial Kemenkes.
Kegagalan tender FDC memaksa Kemenkes membeli tiga jenis obat dengan harga di atas pasaran internasional. Sebagai contoh, Tenofovir dijual dengan harga Rp252.720 kepada pemerintah, sementara harga jual internasional hanya dipatok Rp47 ribu saja.
Namun, Wiendar Waworuntu menolak kondisi tersebut disebut sebagai monopoli.
“Tidak benar bahwa hanya dimonopoli dua perusahaan,” kata Wiendar pada saya. “Banyak perusahaan Farmasi yang sudah teregister dan mengikuti proses pengadaan. Semua proses pengadaan dilaksanakan terbuka. Proses sangat transparan dan akuntabilitas proses sangat dijunjung.”
Hingga kini, saya setidaknya bertemu tiga orang ODHA yang mengaku masih menerima pecahan TLE dari puskesmas tempat nama mereka terdaftar. Data jumlah ODHA yang terdaftar ini cuma dimiliki layanan (rumah sakit dan puskesmas), dan Kemenkes. Ia bersifat rahasia, demi menjaga identitas ODHA.
“Katanya, sudah ada arahan untuk menghabiskan TLE pecahan dulu, sehingga puskesmas cuma kasih FDC nanti kalau TLE pecahan tiga udah habis,” aku salah satunya, yang enggan namanya dibuka.
Namun, Wiendra sekali lagi menampik. “Tidak ada arahan (pada layanan), semua (ODHA) berhak mendapatkan obat sesuai kebutuhan dan penilaian teknis dari dokter yang merawat,” katanya.
Dugaan Korupsi
Oktober 2018 lalu, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut indikasi kasus dugaan korupsi penggelembungan dana pengadaan obat HIV/AIDS oleh PT Kimia Farma Trading & Distribution terkait tender di Kementerian.
“Jadi pengadaannya itu ada indikasi mark-up harga atau prosedurnya tidak jelas, karena obat itu sangat diperlukan agar (ODHA) cepat sembuh,” kata Jaksa Agung saat itu, HM Prasetyo.
Juli lalu, kasus ini masih belum berkembang jauh. Kejagung fokus pada dugaan korupsi pengadaan obat, vaksin, dan perbekalan kesehatan atau penyediaan obat AIDS dan PMS tahap I pada Kemenkes tahun anggaran 2016.
Tiga orang dari Kemenkes telah dipanggil sebagai saksi. Di antaranya: Tita Mintarsih, Raden Pandukusuma, dan Asep Rachman. Kejagung juga telah memanggil sejumlah pihak di antaranya: Direktur Utama PT Kimia Farma Trading & Distribution, Yayan Heryana: Asisten Manager Prinsipal Rahmad Rialdi; dan mantan Direktur Produksi & Supply Chain PT Kimia Farma (Persero) Jisman Siagian.
Selain itu, Kejagung juga memanggil mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Kimia Farma (Persero) Pujianto; Marketing Manager Obat Generik dan Produk Khusus Eva Fairus; Mantan Dirut PT Kimia Farma (Persero) dan Direktur Utama PT Indofarma Rusdi.
Saya berusaha menghubungi pihak Kimia Farma untuk menanyakan dugaan ini dan tahap penentuan harga ARV yang mereka bikin: yakni, Ganti Winarno, Sekretaris Perusahaan PT Kimia Farma Tbk dan Corporate Communication PT Kimia Farma Siti Anisa Husnu, tapi belum dapat respons hingga saat ini.
Saya juga sempat menghubungi Honesti Basyir, mantan Direktur Utama PT Kimia Farma, yang September kemarin dilantik menteri Rini Soemarno jadi Direktur Utama PT Bio Farma, perusahaan induk dari Holding BUMN Farmasi yang diinisiasi pemerintah. Namun, Honesti mengarahkan kembali ke Kimia Farma.
_______
Laporan ini hasil kolaborasi reporter tirto.id Aulia Adam dan Emily Johnson, jurnalis paruh waktu di New York. Laporan ini didukung oleh program Round Earth Media dari Internasional Women’s Media Foundation.
Baca juga artikel terkait HIV AIDS atau tulisan menarik lainnya Aulia Adam (tirto.id – Indepth)
Penulis: Aulia Adam
Editor: Mawa Kresna