Reporting
There’s Nothing Wrong Being LGBT and Religious
Bisakah agama menerima LGBTIQ? Bisa. Dan pandangan tersebut muncul dari segelintir pemikir yang progresif.
tirto.id – “Apakah betul Tuhan menciptakan saya cuma untuk dihina dan dicaci seumur hidup lalu dibakar di neraka setelah mati?”
Pertanyaan itu sudah muncul di kepala El sejak kelas 6 SD yang cemas atas orientasi seksualnya. El sadar bahwa ia lebih feminin dari teman pria sebaya dan punya lebih banyak teman perempuan.
Tumbuh besar dalam keluarga muslim membuat El dihantui pikiran menanggung dosa besar: lelaki hanya boleh menyukai perempuan. Ia dibesarkan oleh gagasan-gagasan bahwa homoseksual adalah maksiat dan cuma punya tempat di neraka. Namun, saat bersamaan, ia mendengar narasi-narasi keagungan Tuhan dan betapa mahabaik Ia.
“Islam sebagai rahmatan lil alamin juga selalu tertanam di kepalaku. Islam adalah jalan paling terang,” ujar El, kini 23 tahun, mahasiswa S2 di salah satu universitas di Yogyakarta.
Sejak sadar ia menyukai lelaki dan ia tahu hal itu tabu di mata agamanya, keluarganya, dan lingkungan sosialnya, pertanyaan-pertanyaan spiritual tentang Tuhan dan agama bercokol di pikirannya. Ada pertarungan dalam dirinya: antara ingin jadi hamba Tuhan yang salih dan tetap di jalur-Nya atau menjadi diri sendiri yang dianggap menanggung “dosa besar” oleh mayoritas.
Sekitar 2011, saat kelas dua SMA, El mulai lelah dengan pertanyaan macam itu. Ia mencoba mengenal dirinya sendiri. “Aku mulai mencari tahu apa itu homoseksualitas, apa itu gay. Dan menemukan banyak penelitian yang menyebut bahwa ini bukan kelainan.”
El kembali mempertanyakan agamanya, “Kenapa ada banyak narasi-narasi kebencian dalam agama yang harusnya membawa kebaikan?” Ia juga mulai mengenal istilah ateisme dan agnostik tapi ia masih percaya Tuhan itu ada.
Saat masa perkuliahan, ia mendalami sejarah agama. Suasana perkuliahan yang lebih terbuka membuatnya lebih nyaman menerima orientasi seksualnya. Ia mulai membongkar dogma-dogma moral, stereotip dalam lingkungan sosial termasuk dalam agama. Ia sempat tertarik mempelajari Katolik hingga akhirnya berlabuh pada ajaran Buddha.
“Aku dulu juga orang yang berpikir, ‘Duh kayanya orang queer kayak aku enggak butuh agama, deh. Agama cuma tempat kami dikucilkan dan dianggap salah’,” kata El.
“Tapi, aku ternyata masih percaya ada sesuatu yang lebih besar dari semesta ini, konsep yang disebut Tuhan oleh orang banyak, dan aku beruntung bisa menemukan ketenangan itu di ajaran Buddha.”
Pada 2015, ketika mempelajari Buddhisme, El mengunjungi sebuah wihara di Yogyakarta, kota tempatnya tinggal dan dibesarkan. El bertemu sejumlah teman yang memutuskan menjadi Buddhis setelah melepas Islam. Seorang bapak, yang ia lupa namanya, menyampaikan empat prinsip yang harus ia pahami baik-baik sebelum memutuskan menjadi Buddhis atau tidak.
Pertama, jangan menghina gurumu yang sebelumnya. Kedua, jangan menjelekkan agamamu yang sebelumnya. Ketiga, jangan sungkan untuk mempelajari agama lain. Pesan ketiga ini berarti El tidak boleh berhenti hanya mempelajari Buddhisme tetapi terus mempelajari agama lain.
“Dan yang terakhir, kalau misalnya kamu menjalankan tradisi kemusliman untuk menjaga keharmonian—supaya tidak terjadi chaos—ya sudah jalani saja.”
El mengulangi kalimat-kalimat itu dengan fasih. “Aku pegang prinsip itu dan itu juga yang bikin aku yakin. Oke, Buddhisme pilihan yang tepat.”
Ia memang masih belum terbuka sebagai gay kepada sejumlah kawan di wihara tempatnya beribadah. Tapi, El merasa lebih tenang karena tak ada lagi pertarungan dalam dirinya.
Tak banyak orang LGBTIQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, interseksual, dan queer) di Indonesia yang seberani El. Rifai, misalnya, seorang gay yang bekerja sebagai pegawai BUMN di Aceh. Lahir sebagai muslim, dalam keluarga yang sangat taat Islam, membuat Rifai selalu merasa berdosa atas orientasi seksualnya.
Seperti El, sejak kecil Rifai dikungkung oleh pola pikir heteronormatif bahwa seorang gay tak akan hidup tenang dan nasibnya berujung dibakar di neraka. Namun, Rifai tak pernah berani mengeksplorasi dunia spiritual seperti El.
“Aku bahkan takut banget, kadang mikir Tuhan itu betul-betul enggak ada—apa yang dipikirkan orang ateis atau agnostik itu bikin aku merinding dan ngerasa berdosa,” kata Rifai.
Ada perasaan berdosa yang sampai sekarang menghantui Rifai tiap kali punya hubungan serius dengan laki-laki, kendati ia juga tak pernah merasa nyaman bila berpacaran dengan perempuan. Ia bahkan pernah melakukan ruqyah atas inisitaif diri sendiri.
“Aku mau membuktikan, apa betul memang bisa diobati, tapi ternyata enggak. Enggak ada yang berubah. Aku tetap enggak bisa bohong kalau lebih senang dengan cowok,” ujarnya.
Bergumul dengan pergulatan itu membuat Rifai depresi. Ia pernah ke terapis psikologi tapi tidak terlalu cocok. Selepas itu, ia lebih berani mempelajari sains tentang homoseksualitas. Pada saat yang sama ia tetap salat karena baginya salat adalah cara “meditasi” paling nyaman.
Ia meyakini Islam adalah agama yang cocok dengannya meski pada saat bersamaan ia masih sering mendengar khotbah salat Jumat mengutuk LGBT.
“Kadang-kadang yang bikin malas ke masjid memang itu. Ceramahnya sering marah-marah. Jujur, aku enggak nyaman,” cerita Rifai.
Khotbah macam itu tidak lantas membuat Rifai meninggalkan ibadah wajib dalam Islam. Diam-diam, ia meyakini Allah adalah maha pengasih, sifat yang takkan sanggup dikaji otak manusia biasa.
Bagi Rifai, urusan ibadah adalah hubungan antara dirinya dan Tuhan, yang sifatnya sangat privat. Meski ia tak memungkiri bakal lebih nyaman jadi diri sendiri jika punya keluarga atau lingkungan lebih suportif terhadap orientasi seksualnya.
‘Beragama itu Bukan Cuma Hak Heteroseksual’
Menjadi LGBTIQ dan religius memang masih menjadi problem. Penyebabnya ada dua, kata Shinta Ratri, seorang transgender yang punya Pondok Pesantren Al Fatah di Kotagede, Yogyakarta. Pertama ialah pendidikan tentang gender yang masih minim dan tabu di Indonesia sehingga menyebabkan yang kedua, yaitu angka persekusi terhadap kelompok rentan ini terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
“Kan masih banyak yang belum paham bahwa (menjadi LGBT) ini given, bukan penyakit. Buat mereka ini tuh penyakit, maka kita harus lebih sabar untuk menjelaskannya,” kata Shinta.
Ia menyadari ketimpangan nasib yang diterima kelompok LGBT sejak remaja. Shinta yang diterima baik oleh ibu dan keluarganya merasa lebih beruntung daripada kebanyakan kawan transgender yang ia lihat di jalan.
“Kalau tidak ngamen, nyalon, ya mereka biasanya pekerja seks. Dulu saya pikir kenapa bisa gitu? Kuncinya, menurut saya, di keluarga.”
“Keluarga itu enggak mungkin tidak sadar ada yang beda pada anaknya sejak kecil. Cuma yang diajarkan ke mereka (orangtua) sering kali untuk menyembuhkan. Karena enggak ada yang ngasih tahu kalau itu bukan penyakit,” jelas Shinta.
Di pondok pesantren yang dibangunnya sejak 2008, Shinta menerima kawan transgender dan LGBT lain untuk ikut pengajian. Ada wadah untuk lebih dekat dengan agama.
“Beragama itu bukan cuma haknya yang heteroseksual tapi haknya semua orang,” kata Shinta, 6 Agustus kemarin.
Kami menemui Shinta saat ia beres-beres rumah: mengecat, membersihkan halaman bersama beberapa pekerja di rumahnya, untuk menyambut Iduladha. Di sana, kami bertemu Erny, waria paruh baya kelahiran Jawa Barat, yang sudah lama pindah dan tinggal di Yogyakarta.
Sejak kecil, Erny diusir keluarga dan bertahan hidup di jalanan sebagai pengamen dan pekerja seks komersial. Memilih jadi diri sendiri rupanya bikin hidup Erny penuh risiko.
Sekolahnya tak tamat. Ini membuat ia tak punya pilihan soal pekerjaan, persis seperti yang diceritakan Shinta.
Bergabung di pondok pesantren Shinta bikin Erny punya tenaga demi menjalani hidup serba sulit. “Saya merasa lebih diterima di sini. Bisa belajar agama juga,” katanya.
Menyediakan Ruang untuk Lebih Dekat dengan Tuhan
Selain Shinta Ratri yang menyediakan ruang buat kawan-kawannya untuk mengenal agama tanpa perlu dihakimi atau dikucilkan, ada pula Gereja Komunitas Anugerah (GKA) Reformed Baptist, gereja pertama di Indonesia yang mendeklarasikan pengakuan dan penerimaan kelompok LGBTIQ.
Artinya, gereja ini tak mempermasalahkan orientasi seksual dan ekspresi gender, yang masih dianggap dosa dan sesat oleh komunitas agama lain.
Pendeta Suarbudaya Rahardian berkata perjalanan GKA mengafirmasi LGBT tidaklah mudah. Kelompok LGBT yang datang ke GKA mempertanyakan kehadiran agama atas persekusi yang tinggi. Pertanyaan itu membawa gereja memikirkan ulang kondisi heteronomativitas.
“Kami juga enggak langsung posisi terbuka. Maka, sejak 2015 sampai 2017, kami menggali kajian teologia, sejarah Kekristenan, kajian kitab suci, sampai kajian-kajian teori queer—teori seksualitas terkini,” kata Pendeta Suarbudaya.
Kesimpulan dari kajian-kajian itu bahwa pandangan yang normal adalah hetero bukan satu-satunya pandangan Kristen dalam sejarah tentang gender dan seksualitas. Kristen mempunyai perjalanan panjang yang mengungguli bagaimana gender dan orientasi seksual itu dikonstruksi.
“Di Alkitab, ada ayat-ayat yang secara sekilas eksplisit menolak orientasi seksual non-hetero, eksplisit menolak ekspresi gender yang tidak cisgender.
Tapi, lagi-lagi yang harus dipahami, Alkitab itu bukan kitab yang ditulis untuk semua orang di semua masa. Ia ditulis di suatu momentum waktu tertentu, sosial politik tertentu, situasi teologis tertentu.”
“Maka,” kata Pendeta Suarbudaya, “kita harus tahu konteksnya apa.”
Ia mencontohkan kitab Imamat Perjanjian Lama yang eksplisit menolak LGBT. Dalam kitab itu disebutkan orang yang melakukan hubungan seks, laki-laki dengan laki-laki, harus dihukum mati. Teks ini menurut Suarbudaya perlu dibaca dalam konteks saat itu, bukan saat ini.
“Itu alam pikir orang Yahudi yang sedang membangun bangsa,” kata Suarbudaya, “Dan sebagai kumpulan yang sedang membangun bangsa, orientasi mereka itu menambah jumlah manusia. Atau prokreasi. Jadi itu larangan yang mission-nya nation building.”
Pertanyaannya, kata Suarbudaya, “kita, kan, bukan menjadi seperti orang Yahudi hari ini? Kita orang Indonesia yang hidup di abad 21. Kita tidak sedang membangun bangsa.”
Sikap ini mendatangkan respons buruk. Gereja yang mengakui hakikat LGBT itu dianggap sesat dan dikucilkan di kelompok Kristen sendiri.
Akademisi Islam Lailatul Fitriyah—seperti yang ditulis Magdalene—punya pandangan segar serupa Pendeta Suarbudaya. Menurutnya, pendirian ulama yang bertentangan dan tidak humanis terhadap kelompok LGBT, ditopang keyakinan yang memandang proses terbentuknya hukum Islam dan proses terbentuknya tradisi Islam sebagai sesuatu yang tertulis di atas batu.
“Asumsinya adalah, kalau sudah menjadi hukum Islam, maka tidak bisa lagi diubah. Hukum Islam yang berasal dari abad ke-11, misalnya, harus tetap seperti itu sampai sekarang,” tulis Laily kepada Magdalene. “
Padahal kalau kita belajar sejarah atau hukum Islam, proses terbentuknya sangat bergantung pada dinamika masyarakat,” tambahnya.
Ia memaparkan pada masa Kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad, sekitar abad ke-16, dinamika masyarakat menjadi patriarkal dan hukum yang ditulis saat itu lebih opresif terhadap perempuan ketimbang hukum yang bersumber pada abad ke-8 atau ke-7 saat Nabi Muhammad baru meninggal.
“Jadi hukum itu berubah sesuai tuntutan masyarakat, sifat masyarakat saat itu.”
“Sayangnya, apa yang terjadi sekarang… kalau namanya hukum Islam berarti sudah tidak bisa diubah dan tidak bisa disesuaikan dengan kondisi masyarakat,” tambah Laily.
Menurut Pendeta Suarbudaya, penerimaan agama jadi penting dalam konteks masa kini saat persekusi pemerintah dan kelompok agama terhadap kelompok LGBTIQ terus-menerus tinggi. Agama seharusnya kembali membuka diri untuk mencari solusi.
“Dalam kasus kami, kami menganggap mengkhianati pesan Injil bila kami tidak mendeklarasikan mengakui dan menerima LGBTIQ,” ujar Suarbudaya.
Ide dasar Injil, ujar sang pendeta, adalah keselamatan untuk seluruh umat manusia.
“Maka LGBTIQ perlu diafirmasi. Mereka tidak salah. Yang salah adalah orang yang tidak menerima dirinya, tidak mengasihi dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa mengasihi orang lain kalau dia tidak mengasihi dirinya sendiri?”
Nama El dan Rifai merupakan nama samaran untuk melindungi narasumber. Laporan ini hasil kolaborasi reporter tirto.id Aulia Adam dan Emily Johnson, jurnalis paruh waktu di New York. Laporan ini didukung oleh program Round Earth Media dari Internasional Women’s Media Foundation.
Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan menarik lainnya Aulia Adam (tirto.id – Sosial Budaya)